Kalimatlaa maujuda illallah dapat dipahami dalam dua pengertian: Pertama , Yusuf Khaththar Muhammad dalam Mausu'ah al-Yusufiyyah menjelaskan, makna kalimat di atas adalah: " Laa maujuda qaimun binafsihi illa Hua Ta'ala wa ma siwahu qaimun bi ghairih " (Tidak ada yang wujud secara independen kecuali Dia Yang Maha Tinggi, sedangkan selain diri-Nya wujudnya membutuhkan yang lain). SYARATSYARAT KALIMAT لا إله إلا الله. Kalimat la ilaha illallah memiliki tujuh syarat yang ucapan kalimat itu tidak sah atau tidak sempurna kecuali syarat-syarat tersebut terpenuhi. Dan seorang hamba harus berpegang teguh kepadanya tanpa menghilangkan salah satu dari tujuh syarat tersebut, yaitu: 1. Al- 'Ilmu (pengetahuan) Fast Money. Para ulama tauhid sepakat bahwa makna Lâ ilâha illallâh adalah Lâ mabûda bihaqqin illallâh tiada tuhan yang disembah dengan hak kecuali Allah, bukan Lâ mabûda illallâh, tiada tuhan yang disembah selain Allah. Andai makna Lâ ilâha illallâh adalah Lâ mabûda illallâh, tiada tuhan yang disembah selain Allah, niscaya kenyataannya berbohong. Sebab, masih mengasumsikan ada tuhan-tuhan selain Allah di luaran sana yang disembah. Padahal, tuhan-tuhan itu semuanya batil kecuali Allah. Karena itu, perlu dipastikan bahwa makna Lâ ilâha illallâh adalah tiada tuhan yang hak kecuali Allah. Tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Dia Syekh Muhammad Abdul Qadir Khalil, Aqidah al-Tauhid fi Al-Qur’an al-Karim, Terbitan Maktabah Daruz Zaman, Cet. Pertama, 1985, hal. 40. Secara retorika, kalimat Lâ ilâha illallâh disajikan dalam gaya bahasa qashr nafyi dan itsbat. Artinya, gaya bahasa yang membatasi makna dengan cara menegasikan yang lain dan menetapkan salah satunya. Dinegasikan dengan kalimat Lâ ilâha dan ditetapkan oleh kalimat illallâh. Itulah kalimat tauhid untuk mengesakan Allah. Jika yang dipakai hanya itsbat penetapan maka maknanya tidak mencegah keterlibatan tuhan lain. Begitu pula jika yang dipakai adalah nafyi saja, maka yang terjadi ternafikan seluruhnya. Sehingga jika kita mengucapkan Lâ ilâha tiada tuhan, maka ternafikanlah seluruh tuhan termasuk Allah. Demikian pula jika kita mengucapkan allâhu ilâhun Allah itu tuhan, maka kita belum bertauhid. Karena kalimat ini lemah dan tidak menegasikan keikutsertaan tuhan-tuhan yang lain Syekh Muhammad Abdul Qadir Khalil, Aqidah al-Tauhid fi Al-Qur’an al-Karim, Terbitan Maktabah Daruz Zaman, Cet. Pertama, 1985, hal. 40. Oleh sebab itu, ketika kalimat penetapan ini dipakai, Al-Qur’an sendiri menguatkannya dengan sifat. Contohnya kalimat, “Wa ilâhukum ilâhun wâhid” Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, QS al-Baqarah [2] 163. Sifatnya adalah “yang maha esa”. Bahkan, kalimat itsbat itu tak dibiarkan Al-Qur’an begitu saja. Lanjutan ayat tersebut ialah kalimat tauhid, “Lâ ilâha illâ huwar rahmânurrahîm Tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, QS al-Baqarah [2] 163. Selain bermakna Lâ mabûda bihaqqin illallâh Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, Lâ ilâha illallâh juga bermakna Lâ maujûda bihaqqin illallâh Tiada maujud yang hak selain Allah dan Lâ masyhûda bihaqqin illallâh Tiada yang disaksikan dengan hak selain Allah. Makna Lâ mabûda bihaqqin illallâh ini juga ditegaskan Allah dalam surah al-Fatihah. Iyyaka nabudu Hanya kepada Engkau kami menyembah. Lagi-lagi gaya bahasa yang dipergunakan adalah gaya bahasa qashr . Bedanyanya, jika Lâ ilâha illallâh dengan qashr nafyi dan itsbat, sedangkan iyyaka nabudu dengan qashr taqdim ma haqquhu al-ta’khir mendahulukan bagian kalimat yang biasa diakhirkan. Tanpa qashr, kalimat itu berbunyi, Nabuduka Kami menyembah Engkau. Namun, dalam gaya bahasa qashr, kalimat itu menjadi Iyyaka nabudu Hanya kepada Engkau kami menyembah.” Karena itu, siapa pun yang telah menyelami makna ini, tidak akan ada yang bisa menghalangi dirinya beribadah, tidak ada yang terpikir saat dirinya beribadah kecuali Allah. Kemudian Lâ maujûda bihaqqin illallâh maksudnya tiada yang maujud—bermakna wujud—dengan hak kecuali Allah. Segala wujud yang terlihat bukan wujud yang hakiki. Wujudnya bumi misalnya. Ia diwujudkan oleh Allah. Selain itu, wujud bumi juga terbatas dan fana. Begitu pula wujud-wujud yang lain. Semuanya wujud karena ada yang mewujudkan. Tetaplah wujud yang hakiki dimiliki oleh Allah, Dzat yang maha wujud, azali, qadim, dan kekal. Kemudian Lâ masyhûda bihaqqin maksudnya tidak ada yang disaksikan dengan hak kecuali Allah. Apa pun yang dilihat dan disaksikannya semata karena wujud dan kebesaran-Nya. Tidak ada yang disaksikan semata rencana, kehendak, kekuasaan, dan hikmah-Nya. Tidak ada yang buruk di sisi-Nya. Sehingga manakala ada seseorang yang melihat perkara buruk oleh mata kepalanya, maka dengan pandangan mata hatinya bashirah terlihat baik dan sejalan dengan hikmah yang hendak diberikan-Nya. Bahkan, seorang yang telah menyelami makna ini, tidak bisa melihat sesuatu di depannya kecuali Allah. Itu pula yang terjadi pada al-Hallaj yang pernah mengatakan, “Ana al-haqq.” Para ulama tasawuf menyebut makna Lâ ma’bûda ini sebagai makna syariat, makna Lâ maujûda sebagai makna tarekat, dan Lâ masyhûda sebagai makna hakikat lihat Syekh Abu al-Hasan Nuruddin, al-Radd ala al-Qa’ilin bi Wahdatil Wujud, [Damaskus Darul Ma’mun], 1995, Cet. Pertama, hal. 20. Turunan dari tiga makna di atas adalah Lâ maqshûda bihaqqin illallâh tiada yang dituju dengan hak selain Allah, Lâ maqdûra bihaqqin illallâh tiada yang dikuasakan dengan hak selain Allah, Lâ mas’ûla bihaqqin illallâh tiada yang diminta dengan hak selain Allah, La mahbûba bihaqqin illallâh tiada yang dicintai dengan hak selain Allah, dan seterusnya. Untuk mendukung makna-makna di atas, para ulama sekurang-kurangnya mempersyaratkan delapan hal, yaitu 1 memiliki pengetahuan untuk menafikan kebodohan, 2 memiliki keyakinan untuk menafikan keraguan, 3 memiliki penerimaan untuk menafikan penolakan, 4 memiliki kepatuhan untuk menafikan ketidaktaatan, 5 memiliki keikhlasan untuk menafikan kesyirikan, 6 memiliki kejujuran untuk menafikan kemunafikan, 7 memiliki kecintaan untuk menafikan kebencian, 8 memiliki kekufuran terhadap segala sesuatu selain Allah lihat Syekh Abdurrahman ibn Muhammad, Hasyiyah Tsalatah al-Ushul, Terbitan Daruz Zahim, Cet. Kedua, 2002, hal. 84. Demikian kekuatan makna Lâ ilâha illallâh dalam retorika qashr. Semoga uraian singkat ini kian menambah keyakinan dan ketauhidan kita. Wallahu a’lam. ​​​​​​​M. Tatam Wijaya Tulisan Arab La ilaha illallah informasi tentang cara membuat tulisan arab Laailaahaillallah beserta dengan penulisan kata yang sering mengiringi semisal, al Malikul Haqqul Mubiin, Wahdahu Laa Syariika lah, muhammadarrasulullah, baik lengkap dengan harakat maupun gundul tanpa syakal dan semoga kita termasuk orang orang yang benar dalam menulis kalimat laa ilaaha illallah. Buy Ambien online Termasuk juga laa ilaaha illallah beserta artinya dan penulisan latin yang dianggap tepat dalam pemenggalan kata. Berikut adalah cara penulisan dalam huruf hijaiyah arab tahlil Laa Ilaaha Illallah baik dengan menggunakan harakat lengkap maupun tanpa syakal yang dapat anda copy paste di media facebook handphone twitter maupun pada notepad microsoft word office menyesuaikan dengan kebutuhan penulisan arab. Generic Levitra لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ لا إله إلَّا الله Artinya ; Tiada Tuhan Selain Allah Selain itu berikut adalah cara penulisan dari kalimat dibawah ini beserta artinya. Tulisan Arab Lailahaillallah muhammadarrasulullah لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللّٰهِ Artinya ; Tidak ada Tuhan Selain Allah, Muhammad RosulullahArti dalam Bahasa Inggris ; There is no god but God; Muhammad is the messenger of God. Tulisan Arab Lailahaillallah Al Malikul Haqqul Mubin لَا إِلهَ إِلَّا اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِينُ Artinya ; tidak ada tuhan selain Allah yang Maha Benar lagi Maha Nyata Tulisan Arab Lailahaillallah wahdahu la syarikalah لا إلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَريكَ لَهُ artiya ; tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya itulah cara penulisan dalam bahasa arab Kalimat Tahlil beserta varian yang sering mengikutinya dalam penggunaan baik secara Bahasa Lisan maupun tertuang dalam penulisan buku majalalah tugas maupun blog di Internet. Keutamaan Kalimat لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ Berikut adalah beberapa keutamaan dari kalimat tahlil ini yang layak untuk diketahui oleh muslimin muslimat di seluruh duna dimanapun berada. Adapun keutamaannya diantaranya yaitu;Adalah Kebaikan yang paling utama;Adalah Dzikir yang paling utama;adalah amal yang paling utama, paling banyak ganjarannya, menyamai pahala memerdekakan budak dan merupakan pelindung dari gangguan setanadalah Kunci 8 Pintu Surga, orang yang mengucapkannya bisa masuk lewat pintu mana saja yang dia sukai; Beda Pendapat tentang Hadis Memperlapang rizki kalimat Laa ilaaha Illallah Al Malikul Haqqul Mubin Mengutip dari situs berita resmi milik organisasi Nahdlatul Ulama menyebutkan bahwa hadis diatas masuk dalam kategori shoheh. Akan tetapi berbeda pendapat dalam hal kesahihan hadis dimaksud, pada blog terkenal di kalangan salafy voa-islam menyebutkan bahwa hadis ini sangat dhaif sekali sampai pada taraf tidak bisa diamalkan. Dan sekedar tambahan informasi, dalam pintu ka’bah tertera tulisan La ilaha illallah. Almalikul haqqul mubin. Muhammadur Rasulullah Ash-shadiqul Wadil Amin Adapun hadis dimaksud berbunyi ; Diriwayatkan dari Ali Radhiyallahu Anhu, ia berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, مَنْ قَالَ لَا إِلهَ إِلَّا اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِينُ فِي كُلِّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَ لَهُ أَمَانًا مِنَ الْفَقْرِ، وَيُؤْمَنُ مِنْ وَحْشَةِ الْقَبْرِ، وَاسْتُجْلِبَ بِهِ الْغِنَى، وَاسْتُقْرِعَ بِهِ بَابُ الْجَنَّةِ “Siapa membaca Laa Ilaaha Illallaah Al-Malikul Haqqul Mubin seratus kai dalam sehari maka memperoleh jaminan aman dari kemiskinan, diselamatkan dari ngerinya kubur, mendapat kekayaan dan terbuka baginya pintu-pintu surga.” HR. Abu NU’aim di Shifah al-Jannah, no. 185, Al-Khatib al-Baghdadi di Tarikhnya 12/358-359, dan selainnya Dalam takhrij dan tahqiq Syaikh Thariq Athif Hijazi di terhadap hadits ini, “Dhaif sekali”. Sebagian perawinya lemah dan sebagaian yang lain mursal. POKOK TAUHID Artinya Tidak ada yang maujud kecuali atas ijin dan takdir Allah. Pengertian singkatnya adalah bahwa setiap kejadian, baik yang disengaja oleh manusia ataupun tidak, baik yang sesuai dengan keinginan manusia ataupun tidak, yang bersifat biasa ataupun luar biasa, yang manis dan yang pahit, yang baik maupun yang buruk, itu semua adalah atas kudrat dan iradat Allah, atas kuasa dan kehendak Allah. Posisi makhluk termasuk manusia, tidak ada peran sama sekali yang berpengaruh di dalan mewujudkan sesuatu, ia hanyalah saluran dan sambungan saja. Daya ikhtiar dan akal manusia, bagaimanapun besarnya tidak akan mampu mewujudkan sesuatu, tanpa izin dan kuasa Allah. Ikhtiar dan akal manusia hanya berfungsi sebagai sarana dan penyambung dari kuasa dan kehendak Allah yang Maha Mutlak. Karena itu, manusia harus menyadari akan kelemahan dan kekerdilannya di hadapan Allah Rabbul Izzati. Segala hidup dan kehidupan, bergantung mutlak kepada kuasa dan kehendak Allah, manusia tidak memiliki daya dan kuasa sedikit pun, kecuali atas kehendak dan kuasa Allah. Inilah yang dikatakan wahdatul maujud.

la maujuda illallah artinya